Selama ini, Pulau Buton lebih dikenal sebagai pulau penghasil aspal. Padahal di luar hasil bumi itu, pulau ini memiliki “harta karun” nan dasyat. Yakni, jejak arkeologis berupa benteng-benteng yang nyaris mengepung seluruh pulau dan sejarah panjang Kesultanan Butuni.
Pulau Buton adalah pulau benteng. Karena, bangunan yang menjadi basis pertahanan militer tersebut tersebar di banyak tempat. Sehingga, pulau tersebut kerap disebut sebagai “Negeri Seribu Benteng” atau “castle in town”. Karena, kota-kota penting di pulau itu hampir dikelilingi benteng-benteng – mirip konsep tata ruang negeri Jerman yang dikelilingi benteng-benteng. Namun, dunia pariwisata kerap “memaksa” wisatawan yang berkunjung ke daerah itu hanya mengenal Benteng Keraton Wolio. Ini bisa dimaklumi, karena benteng itu merupakan simbol kejayaan Kesultanan Butuni, sekaligus sebagai satu-satunya bukti sejarah yang masih terawat.
Benteng Keraton Wolio dibangun sejak masa pemerintahan Sultan Buton ke-3 La Sangaji pada abad ke-15. Dan, bangunan itu benar-benar rampung pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-6 La Buke pada 1634. Keunikan bangunannya; bila dilihat dari atas, dengan bangunan sebelas selatan sebagai kepalanya, maka akan memnentuk huruf “dal” – huruf ke delapan pada alfabet bahasa Arab atau huruf terakhir nama Baginda Rasulallah Muhammad saw. Pintu benteng (lawa) berjumlah 12, yang bermakna jumlah lubang pada tubuh manusia.Atau, bisa juga bermakna 12 lokasi yang dipilih oleh Tuhan, untuk mendapatkan tanah pembentuk Nabi Adam As. Bastion (kubu pengawas) berjumlah 16. Tapi, sumber lain menyebutkan 17 – jumlah rakaat dalam shalat selama sehari. Angka-angka itu tidak muncul secara kebetulan. Tapi, perancang pembangunan benteng memang menyiapkannya secara khusus, untuk memberikan gambaran adanya nilai tasawuf dalam pemerintahan Kesultanan Butuni. Sekaligus monumen bagi rakyatnya, untuk terus memahami dan mengamalkan akhlak mulia yangbersandarkan ajaran Ilmu Tasawuf tersebut.
Dulu, Benteng Keraton Wolio menjadi pusat kegiatan pemerintahan, ekonomi, sosial, dan syiar Islam. Selain itu, bagian dalam benteng juga menjadi lokasi pemukiman. Hal itu memungkinkan, karena benteng memiliki lahan yang luas, yakni sekitar 400.000 m² dan dikelilingi benteng sepanjang 2740 m. Tinggi temboknya 2-8 m dan lebar 1-2 m.
Pulau Buton di masa silam adalah Kerajaan Hindu dengan I Wa Kaa Kaa sebagai raja pertamanya. Saat itu, nama Pulau Buton telah diperhitungkan dan tercatat dalam sejarah pelayaran nusantara. Terbukti, Kitab Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca menuliskan keberadaan Pulau Buton. Kerajaan Buton berubah menjadi Kesultanan Butuni, setelah Raja Buton ke-6 Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo menjadi muslim dan berganti nama menjadi Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul. Pengisalaman ini merupakan buah kehadiran Ahli Ilmu Tasawuf asal Negeri Gujarat Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Fathani di Pulau Buton.
Wajah Islam di lingkungan kesultanan makin berbinar, setelah sang syekh pun menanamkan ajaran tasawuf pada sultan dan keluarganya. Sehingga, pemahaman mereka akan Islam benar-benar makin kokoh. Buah terindah dari bibit ajaran soal penyucian akhlak oleh Syekh Abdul Wahid dan Sultan Murhum Kaimuddin adalah diterbitkannya UUD Martabat Tujuh sebagai undang-undang tertinggi di negeri itu. Perancang UUD tersebut adalah Sultan Butuni ke-6 Dayanu Ikhsanuddin.
Kekayaan ajaran tasawuf di setiap sendi kehidupan Kesultanan Butuni juga diperlihatkan manuskrip-manuskrip kuno, yang disimpan seorang warga Benteng Keraton Mulia, Muzaji Mulki. Seluruh manuskrip bertuliskan huruf Arab namun isinya menggunakan Bahasa Arab,Wolio, dan Melayu. Bahasa Melayu muncul dalam manuskrip, karena Syekh Abdul Wahid lama bermukim di Johor, Malaysia. Bahkan, penyebar Islam atau guru-guru yang berdatangan ke pulau tersebut setelah Syekh Abdul Wahid umumnya berasal dari Negeri Jiran.
Namun, yang harus dicatat dengan tinta emas adalah kehadiran UUD Martabat Tujuh. Karena, hal itu sama artinya, Kesultanan Butunitelah menempatkan ajaran tasawuf sebagai pijakan utama. Sehingga, mereka bukan lagi berada di wilayah syariat – seperti yang saat ini ramai diterapkan di berbagai daerah di tanah air. Namun, mereka justru telah berada di wilayah tarekat! Dengan UUD Martabat Tujuh, Kesultanan Butuni membangun tata kehidupan yang demokratis dan bertanggungjawab. Bahkan, jabatan sultan pun bukan dicapai karena trah semata. Tapi, ia merupakan orang yang dipilih oleh Anggota Dewan (patalimbona) karena kemampuan dan akhlaknya. Karena persoalan akhlak, seorang sultan bisa dilengserkan bila kedapatan melakukan pelanggaran.
Selain itu, tata cara pengaturan pemerintahan, pengambilan keputusan, dan hubungan sosial antarwarga atau dengan negeri lain, semuanya atas dasar akhlak mulia. Bukan untuk menimbulkan masalah. Tapi, memang ditujukan untuk kesejahteraan dan keselamatan seluruh rakyat. Sehingga, sang sultan bertanggungjawab penuh atas situasi lahir-batin seluruhya warganya. Ia juga sadar bahwa kelak Allah swt akan meminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
Pimpinan atau pejabat apa pun di masa itu biasanya akan melakukan sujud syukur ketika tugasnya berakhir. Jadi, bukan ketika ia terpilih atau diangkat. Hal ini merupakan cermin, tugas atau jabatan adalah amanah, hingga harus dilakukan dengan penuh tanggungjawab. Setelah selesai dan dianggap berhasil, maka merasa perlu untuk berterima kasih kepadaNya.
Jumat, 26 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar